scratch my back
peter gabriel
real world/virgin, 2010
berambut kelabu, jenggot (yang juga kelabu) di wajahnya, dan sosok yang memancarkan kehangatan dan kecerdasan, tampak seperti ksatria jedi, peter brian gabriel termasuk musisi yang tak pernah peduli apakah dia masih relevan atau bertambah tua. tapi coba perhatikan dengan seksama begitu karyanya muncul –yang sebenarnya makin jarang. tak bakal ada keraguan bahwa dia, dalam lanskap musik pop (dengan pengertian yang luas), telah melampaui kegemerlapan; fokusnya adalah substansi.
hal itu pulalah yang bisa dirasakan dari album terbarunya, scratch my back. dirilis pada pertengahan februari lalu, inilah album “re-make” atau cover lagu-lagu lama yang penggarapannya jauh dari kesan sekadar bersenang-senang di studio, atau semata mengisi waktu sampai kelak ada cukup materi orisinal untuk album berikutnya (kalau memang ada). hanya sedikit album semacam ini, dari begitu banyak album serupa.
walau hal itu tak mengejutkan untuk standar gabriel, semula memang sempat timbul keraguan di kalangan penggemarnya. ketika proyek penggarapannya resmi dipublikasikan, ada yang mendapatkan kesan bahwa album ini tak lebih dari gagasan sebuah tim manajemen; ada anggapan ini sebuah cara saja untuk memperkenalkan gabriel kepada generasi baru pendengar musik. dengan kata lain, ini cara untuk tetap mengukuhkan relevansi mantan vokalis grup progresif rock genesis itu.
namun wawancara gabriel dengan the quietus, sebuah website musik dan kultur pop, menjelaskan segalanya. dan apa yang dia kerjakan, bagaimana lagu-lagunya dipilih dan apa alasannya, tergambar dengan gamblang asal-muasalnya. dia sama sekali tak berniat bergabung dengan para musisi yang hanya membuat panjang daftar album cover yang, ya, begitu-begitu saja.
“saya mencoba membuat rekaman yang dewasa,” kata gabriel, kini 60 tahun, kepada the new york times. “(album) ini memperlakukan orang seakan-akan mereka sanggup mengatasi musik dan kata-kata yang sulit. ada keriangan dan kekanak-kanakan pada sejumlah karya lama saya yang tak hadir di rekaman ini.”
dalam catatan di sampul album, gabriel mengaku sudah lama ingin merekam sejumlah lagu favoritnya dan bertindak sepenuhnya hanya sebagai penafsir, bukan pencipta lagu –pekerjaan yang mendorongnya terjun ke dalam dunia musik dan mendirikan genesis pada 1967. gagasan di kepalanya adalah begini: dia berkomunikasi dengan pencipta lagu-lagu yang akan dia nyanyikan, dengan saling bertukar lagu. “anda merekam satu punyaku dan saya akan membawakan punya anda, dari situlah judulnya.” di antara yang dia pilih adalah karya-karya david bowie, paul simon, lou reed, arcade fire, dan radiohead.
namun, karena skedul yang sulit diselaraskan, gagasan yang semestinya menghasilkan dua macam rekaman itu ditangguhkan sebagian. jadi, yang bisa segera dirampungkan adalah gabriel merekam lagu-lagu yang dia pilih.
di situ, gabriel beruntung bertemu john metcalfe. dengan arranger yang telah beberapa kali bekerja dengan real world, label rekaman milik gabriel, inilah keinginan sejak awal untuk melupakan drum dan gitar bisa diwujudkan. gabriel juga menyingkirkan elemen-elemen funk, soul, danworld music, yang sebenarnya sangat kuat hadir di album-albumnya yang dulu. tekadnya bulat: menyajikan setiap lagu hanya sebagai melodi dan lirik.
“saya meminta john untuk membuat aransemennya tetap sederhana, langsung tapi selalu emosional, agar lagu bisa benar-benar didengarkan dan dirasakan,” kata gabriel.
berbeda dengan proses rekaman pada umumnya, gabriel memulai justru dengan merekam vokal lebih dulu, sebagai demo –aransemen dan “pengambilan” instrumen menyusul belakangan. dia menyanyi dalam tempo perlahan, terkesan muram, cenderung berbisik. suaranya terdengar putus asa dan telanjang, naik turun bersama melodi bagaikan pelampung keselamatan. not-not rendah jadi bertambah jelas.
hasilnya bahkan seperti mengelevasikan lagu-lagu yang dipilih ke tingkat yang lebih tinggi. atau, setidaknya, ke dimensi yang sama sekali berbeda. tentang lagunya yang dipilih, the book of love, stephin merritt berkata, “mula-mula saya berpikir, ‘dia sepenuhnya telah memperlakukan lagu itu secara berbeda. tapi setelah beberapa kali mendengar saya merasa itu sungguh manis. versi saya untuk lagu itu berfokus pada humornya, dan punya dia berfokus pada rasa iba. tentu saja, jika saya bisa menyanyi seperti dia, saya tak perlu haru menjadi humoris.”
kesan seperti itu bisa dirasakan bahkan sejak lagu pertama, heroes. dan sesungguhnya aransemen untuk lagu milik david bowie, musisi yang sezaman dengan gabriel, inilah yang akhirnya menjadi tumpuan ke mana album ini akan dibawa. lagu ini tentang kepahlawanan di tengah opresi dan keputusasaan. “kami bicara tentang komposer seperti arvo part dan steve reich sebagai inspirasi, tapi ketika john datang lagi dengan draf pertama aransemennya, saya takluk dan berpikir itu salah satu aransemen string terbaik untuk lagu rock yang pernah saya dengar,” kata gabriel.
menurut dia, lagu itu dipilih sebagai pembuka karena “tanpa kendali gitar dan drum…ia menghimpun tensi yang luar biasa besar yang lalu pecah”.
dan, sebenarnya, begitulah tekanan dari album ini secara keseluruhan: seluruh lagu, terlepas dari tone dan makna aslinya, diubah menjadi melodramatis dan bahkan muram; metcalfe membubuhkan orkestra kecil dan piano. mereka yang mengikuti gabriel tentu akan teringat, paling tidak, dengan up, album sebelumnya yang dirilis pada 2002 –sepuluh tahun setelah album pendahulunya, us. tapi scratch my back, yang muncul delapan tahun setelah up, berbeda pada cara gabriel mengeksekusi vokalnya. di sini, itu tadi, dia lebih banyak berbisik, bersenandung pelan, mengayun bersama tempo yang terkadang sangat perlahan. coba dengar dia menyanyikan “you know me, i llike to dream a lot/ of what there is and what there’s not” pada the power of the heart(milik lou reed). atau pada the boy in the bubble (karya paul simon).
menyimak selusin lagu yang ada, dibandingan dengan album-albumcover kebanyakan, gabriel lebih dari sekadar jujur. dia pun sanggup memancarkan cahaya baru dari lagu-lagu yang dia pilih.
[appeared in koran tempo, march 14, 2010]
Ha! Kesan saya ketika dapatkan CD itu: tua, mateng, spiritual, ngelangut, tapi asyik di kuping dan hati. Olahan musikal John Metcalfe oke tenan. Busyet, bunyi ditata sedemikian ah…. pokoknya buat saya ini oke. 🙂
persis. buat saya, apa yang dilakukan gabriel di sini hampir sama dengan yang dilakukan gilmour lewat on an island. ah, andaikata bisa lebih banyak old musicians yang bikin karya sejenis. dan kita akan punya teman yang cukup untuk mengisi hari-hari pensiun kelak. hahaha…
aransemen metcalfe, kalau meminjam seno, teman kantor di kompartemen seni, dahsyat. kita jadi seperti makan blackforest yang di dalamnya dijejali potongan-potongan buah prem di sana-sini.
Berteriak gelisah,’ John please help me !’ di in the cage ’74,….kini lirih nyaris menggumam ,’my body is a cage’ ,kontemplasi seorang tua yg matang…dan orkestra itu…aaah luar biasa !
wah, ‘my body is a cage’ dahsyat.