siang masih beberapa lama lagi ketika saya tiba di salah satu resto pizza besar di cibubur. meja dan kursi di dalamnya kosong. karyawan resto terlihat sibuk menyiap-nyiapkan segala sesuatu, mungkin untuk menyambut jam makan siang. saya mampir cuma untuk membelikan pesanan anak saya. tapi saya surprised: walau volumenya kecil, saya mendengar bagian akhir dari six degrees of inner turbulence. wow….
mulanya saya tak yakin. masa iya, ada komposisi prog, yang seberat itu (6doit, begitu biasanya para penggemar menyebutnya, adalah epik yang panjang, dengan beberapa movement), diputar di resto yang masuk kategori gaul (tagline iklannya: lezat pizzanya, asyik gaulnya). bukankah biasanya yang terdengar musik-musik mtv? tapi melodinya sangat jelas, dan saya kenal betul –itu memang dream theater.
“hebat, lagunya [dari] dream theater,” kata saya kepada waitress yang melayani pesanan saya.
dia hanya tersenyum, lalu sibuk memberes-bereskan sesuatu.
mungkin dia tak tahu-menahu; dream theater bisa jadi nama yang asing baginya –sementara buat sejumlah kalangan malah sudah termasuk membosankan. bisa saja yang memutar lagu itu sebenarnya orang lain, teman kerjanya, dan dia hanya terpaksa ikut mendengarkan sambil bertanya-tanya dan menggerutu, “ini lagu apa, sih.” tapi akibatnya sudah jelas: ada pelanggan yang terkesan, dan itulah saya.
di sofa tempat menunggu, sambil mengabarkan hal itu kepada seorang teman, saya melamun. andai banyak restoran yang melakukannya….
bayangkan: menyantap pancake dan scrambled eggs saat sarapan dengan iringan alan’s psychedelic breakfast-nya pink floyd; atau mengerkah gulai kepala kakap di siang hari sementara telinga menikmati acquiring the taste-nya gentle giant; atau menyerbu jejeran sushi di meja makan malam seraya menyimak untuk kesekian kalinya heart of lothian-nya marillion; atau… ya, banyaklah pilihan yang lain.
apa, ya, yang diperlukan untuk mewujudkan resto seperti itu? masyarakat yang canggih? penggemar musik yang adventurous, atau malah snob? atau pemilik resto yang progger habis? atau kembalinya prog ke tataran mainstream, seperti pada era 1970-an, sebelum punk mengambil alih popularitas?
atau justru musik prog sebenarnya memang tak cocok untuk mengiringi orang bersantap, sebab umumnya terlalu berat untuk dicerna –dan karenanya bisa menyaingi, misalnya, potongan daging steak dari new zealand yang terhidang menggiurkan di piring?
namanya juga lamunan, pasti tiba saatnya semua itu lenyap ketika kenyataan kembali menimbulkan kembali kesadaran. nama saya dipanggil. pesanan saya sudah siap. waktu saya mau meninggalkan resto itu, dari pengeras suara terdengar suara james labrie membawakan the spirit carries on….